MENDIDIK MANUSIA ATAW ANJING???
SEPERTI umumnya para gadis remaja, anak kedua kami yang barusia 15 tahun ingin sekali rambutnya di-rebonding, padahal rambutnya sudah lurus.
Berhubung tarifnya mahal, saya suruh ia pergi ke sebuah salon di daerah Cibubur yang relatif murah.
Rupanya ia sudah mengetahui nformasi melalui internet mengenai salon-salon yang terkenal bagus, atau jelek dalam urusan rebonding, bahkan sampai dampak obat yang dipakai terhadap kualitas rambut. Ia menolak pergi ke salon tersebut, karena informasi yang ia baca dalam sebuah blog internet, kualitas rebonding di salon tersebut tidak bagus.
Berhubung saya hanya mau membayar 50 persen saja, ia melakukan browsing secara intensif, dan akhirnya ia memutuskan untuk memakai jasa sebuah salon yang tarifnya cukup murah, tetapi kualitasnya bagus.
Rupanya anak terkecil kami pun (usia 7 tahun), sudah mulai menjadi seorang yang tidak mudah dipengaruhi juga. Ia bersama kakaknya "berkonspirasi" untuk mempengaruhi kami agar mau memelihara anjing di rumah. Mereka sebut beberapa jenis anjing yang bagus, lagi-lagi belajar dari internet, dan akhirnya memutuskan untuk membeli anjing yang pintar untuk dilatih serta bersahabat dengan anak-anak, yaitu jenis Golden Retriever.
Saya sendiri baru mendengar nama jenis tersebut, tetapi menurut informasi harganya cukup mahal. Kemudian saya ajak mereka ke sebuah tempat di daerah Menteng untuk membeli anjing di pinggir jalan yang pasti harganya lebih murah.
Mereka mengetahui betul bentuk anjing jenis tersebut, sehingga ada 4 penjual yang gagal membohongi mereka. Sampai yang mirip sekali pun, tetapi karena bentuk kupingnya berbeda, mereka mengetahuinya.
Setelah bernegosiasi, dan kedua anak kami mau patungan menyumbang dari uang tabungannya Rp 500.000, akhirnya saya menyerah untuk membelinya di pet shop yang harganya Rp 2 juta, karena kemurnian ras anjing tersebut dijamin oleh sertifikat.
Dalam beberapa hal, saya akui anak-anak kami lebih pintar dan well-informed daripada orangtuanya, sehingga kami sering "kalah" ketika harus mengambil keputusan karena informasi yang diperolehnya lebih lengkap.
Anak pertama kami yang sekarang sudah semester 7 di Fakultas Hukum UI, sejak kelas 1 SMA juga sudah memutuskan sendiri untuk masuk ke IPS, sehingga ia tidak mau "membuang" waktunya untuk belajar sesuatu yang ia tidak akan dipakainya, seperti Fisika, Kimia dan Biologi. Akibatnya, nilai yang diperolehnya hanya pas-pasan saja.
Namun, waktunya lebih banyak ia gunakan untuk belajar sesuatu yang lebih menarik minatnya, seperti belajar komputer, organisasi, dan membaca segala macam buku yang tidak ada hubungannya dengan tugas sekolah.
Kelas 1 SMA (tahun 1999) ia mengajak beberapa kawannya untuk merintis bidang ekstra kurikuler baru di sekolahnya, yaitu FORTEK (forum teknologi), yang semuanya diusahakan melalui survey kelayakan (ada 100 kuesioner tersebar), seminar, dan presentasi di depan sponsor, sehingga memperoleh 6 perangkat komputer. Bidang tersebut sampai sekarang masih ada, bahkan paling banyak diminati siswa.
Rasanya tidak ada satu pun guru yang memujinya, karena memang angka rapornya biasa-biasa saja, bahkan ada juga nilai merahnya (boro-boro dapat ranking). Namun baginya tidak ada masalah, dan ia memang berpikir strategis. Menurutnya, apabila sistem ujian nasional dan masuk perguruan tinggi adalah seperti sekarang, maka dengan sistem kebut drilling beberapa bulan terakhir sebelum ujian, katanya masih bisa ia kejar.
Jadi, ketika hampir seluruh kawan-kawannya sudah sibuk ikut les sekolah dan bimbingan tes sejak kelas 1 SMA, bahkan sampai banyak yang stress, ia menolak untuk mengikutinya karena mau memakai waktunya untuk mempelajari hal-hal yang diminatinya sendiri. Baru ketika 6 bulan menjelang ujian akhir SMA, ia mau ikut les.
Sejak SMP ia memang sudah senang membaca buku-buku serius seperti karangan Maurice Bucaille, buku-buku filsafat Jabariah dan Badariah, bahkan sekarang ia sedang senang-senangnya mengikuti perkembangan harga pasar saham dan pasar uang, karena ia menginvestasikan semua tabungannya yang Rp 3 juta di reksadana. Semuanya ini ia peroleh dari belajar sendiri, bukan dari sekolahnya.
Perjalanan anak-anak kami masih panjang, sehingga kami belum tahu apakah mereka berhasil nantinya. Namun paling tidak, kami telah berusaha untuk mempersiapkan mereka untuk menjadi manusia yang berpikir kritis dan mandiri, tidak mudah percaya dan diprovokasi, bisa mencari informasi dan mengolahnya sendiri, sehingga nantinya bisa mencari solusi terhadap berbagai masalah dalam hidupnya, serta mudah beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah.
Tentunya juga dengan membekali mereka tentang prinsip-prinsip nilai dan etika. Terus terang, kami memang "melarang" anak-anak kami untuk mendapatkan ranking, karena sistem ini akan membuat seseorang terperangkap untuk mempertahankannya, sehingga mereka hanya mampu berpikir dangkal, pragmatis, dan tidak kritis, akibat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal yang jawabannya sudah baku sesuai dengan rumus.
Menurut Albert Einstein, dengan hanya mengajarkan anak menghafal mata pelajaran, tidak ada bedanya dengan melatih seekor anjing. Menurut Einstein, "With his specialized knowledge-more closely resembles a well-trained dog than a harmoniously developed person." (Ternyata benar, dengan cara mengulang berkali-kali, anak kami sudah dapat melatih anjingnya yang berusia 4 bulan untuk duduk, loncat, dan salaman).
Bukan berarti metode menghafal dan drilling tidak perlu (kognitif), tetapi dimensi lainnya juga harus dikembangkan (sosial, emosi, motorik, spiritual, dan kreativitas), sehingga seluruh dimensi manusia dapat berkembang secara seimbang (harmonis).
Namun, semua metode pelajaran di sekolah hanya diarahkan agar anak- anak d apat menjawab ujian, yang bentuknya memang hafalan, sehingga potensi-potensi lainnya tidak berkembang secara harmonis.
Albert Einstein sudah memberikan peringatan akan bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menjejalkan anak dengan banyak mata pelajaran, yang menurutnya dapat membuat anak berpikir dangkal, bukan seorang yang independent critical thinker (New York Times, October 5, 1952).
Menurutnya, "It is also vital to a valuable education that independent critical thinking be developed in the young human being, a development that is greatly jeopardized by overburdening him with too much and with too varied subject (point system). Overburdening necessarily leads to superficiality. Teaching should be such that what is offered is perceived as a valuable gift and not as a hard duty."
Kalau kita melatih seseorang untuk mempunyai fisik kuat, baik dengan olahraga atau berjalan kaki, maka dengan kekuatan fisiknya ia akan fit
bekerja di mana saja yang memerlukan kekuatan fisik. Begitu pula, apabila kita mempersiapkan seorang anak untuk dapat berpikir kritis, selalu ingin tahu, dan mampu mengolah informasi, maka ia akan berhasil dalam pekerjaan apa saja yang memerlukan orang berpikir.
Apalagi di masa depan apabila semakin banyak orang yang mempunyai akses terhadap internet (lima tahun yang lalu mungkin kita tidak membayangkan kalau handphone bisa dipakai secara massal sampai ke desa-desa. Hal yang sama sangat mungkin terjadi dengan internet, seperti yang sudah terjadi di Korea). Artinya, tanpa menghafal pun, segala informasi dengan mudah dapat diakses.
Mungkin ilmu yang didapat di sekolah banyak yang tidak terpakai dalamkehidupan anak kita nanti. Apalagi jaman akan terus berubah dengan cepat, sehingga apa yang dipelajari sekarang ini, mungkin saja tidak terpakai dalam kehidupannya di masa depan nanti. Padahal sudah dipelajari dan dihafalkan mati-matian, sampai banyak yang stress dan mengalami masalah kejiwaan.
Menurut Peter Senge, sekolah-sekolah yang mendidik siswanya untuk patuh begitu saja kepada pihak otoritas dan mengikuti peraturan tanpa mempertanyakannya - tidak bersikap kritis - akan gagal menyiapkan para siswanya untuk menghadapi dunia tempat tinggal mereka yang kerap berubah.
Jadi, kalau kita mau menyiapkan anak-anak kita untuk cakap hidup di zamannya kelak, jangan biarkan mereka terperangkap dengan cara yang hanya bisa berpikir sesuai dengan yang telah diprogram (hafalan dan drilling ), yaitu tidak kreatif, tidak kritis, tidak berani mengambil risiko, tidak proaktif, dan apatis (ITB banget?)
Kasihan mereka, karena mereka harus hidup di masa depan yang begitu cepat berubah, sangat kompleks, serta penuh tantangan dan beban.
Seperti kata Einstein, Mereka adalah Manusia, Bukan Well-Trained Dog
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda